Ketika tanah Bali kian tak terbeli

Anton Muhajir

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika tanah Bali kian tak terbeli

Anton Muhajir

Tanah di Bali makin hari makin tak terbeli. Setiap petaknya pun beralih fungsi. Apakah ini adalah dampak dari pariwisata di Bali?

DENPASAR, Jakarta — Nengah Kribo, tetangga saya, tiba-tiba bercerita tentang sepinya bisnis tanah di Bali. Nengah yang masih bujangan itu sehari-hari jualan es sambil sesekali jadi makelar tanah di Denpasar.

“Tumben nih bisnis makin sepi,” katanya akhir pekan lalu.

Nengah tak sendiri. Beberapa tetangga saya lain pun memiliki pekerjaan sampingan yang sama seperti dia, makelar tanah. Mereka tidak membeli atau menjual tanah — hanya menemukan pembeli bagi penjual atau sebaliknya, menemukan penjual bagi pembeli.

Hasilnya lumayan. Dua tahun lalu, dia mendapatkan 1 are tanah di kawasan Jalan Ahmad Yani Utara, Denpasar Utara. Tanah tersebut hasil dari penjualan total sebanyak 4 are, di mana 3 are untuk pembeli dan 1 are untuknya. Jual beli tanah di Bali memang diukur dalam jumlah are atau 100 meter persegi. Rata-rata luas 1 rumah warga di Denpasar antara 1-2 are, termasuk halaman.

Baginya, itulah hasil kerja sebagai makelar tanah hingga saat ini. Jika dijual, tanah 1 are tersebut sudah laku kira-kira Rp 300 juta. “Waktu itu yang jual tanah butuh uang cepat. Makanya bisa dapat murah,” Nengah melanjutkan.

Setelah panen besar itu, dia mengaku tak pernah dapat pembeli dalam jumlah besar. Paling hanya jutaan atau ratusan ribu.

Jika Nengah makelar tanah hitungan are, maka teman saya yang lain, Sanat Kumara bermain dengan tanah puluhan hektar. Lokasinya juga strategis dan eksklusif. Harganya miliaran per are atau 100 meter persegi.

Pertengahan Januari lalu dia mengirim penawaran properti melalui e-mail kepada saya. Pengusaha travel yang kini merambah dunia properti tersebut menawarkan 16 unit vila di daerah Petitenget, Seminyak, Kuta Utara. Ini kawasan ngehits di pusat magnet pariwisata Bali saat ini.

Vila bulan madu (honeymoon villa) di lahan seluas 2.200 meter persegi itu dia tawarkan dengan harga Rp 90 miliar.

Dua bulan sebelumnya, dia juga mengirimkan email penawaran ke saya untuk jual beli tanah. Lokasinya di sekitar Jalan By Pass Ngurah Rai, Denpasar. Tanah seluas 5,5 are tersebut dia tawarkan dengan harga Rp 2 miliar per are.

Saya senang mendapatkan kiriman email-email penawaran tersebut. Selain senang karena dianggap punya uang sebanyak itu, juga karena senang jadi bisa tahu perkembangan harga tanah di Bali dari hari ke hari.

Selebihnya, saya mengelus dada. Betapa tanah di Bali kian melambung tinggi dan tak terbeli.

300 persen

Sebuah plang iklan penjualan tanah di Bali. Tanah-tanah di Bali beralih fungsi dari pertanian menjadi Hotel dan Kafe. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Berdasarkan pengalaman saya pribadi, harga tanah di Bali memang kian melambung tinggi. Sepuluh tahun lalu, tanah di tempat saya tinggal sekarang hanya Rp 50 juta per are. Sekarang, harga tanah di pinggiran kota Denpasar itu sudah naik jadi Rp 450 juta per are.

Di kota lain, di sekitar Denpasar juga tak jauh beda. Ketut Gempawan, teman saya lainnya, bercerita bahwa harga tanah di Gianyar, tempat tinggalnya saat ini sudah sampai Rp 300 juta per are. Padahal, dua tahun lalu dia beli hanya Rp 250 juta sudah termasuk rumahnya.

Itu baru di tempat pemukiman, belum di pusat kota atau pusat pariwisata. Di sana harganya bisa sampai Rp 2 miliar per are seperti ditawarkan teman saya Sanat Kumara.

Begitulah kenaikan semena-mena harga tanah di Pulau Dewata. Kian mahal dan saya yakin makin susah dibeli.

Sebagai gambaran, harga tanah di Denpasar rata-rata Rp 450 juta per are. Untuk membangun rumah sederhana mungkin habis Rp 250 juta. Artinya, satu rumah di tanah satu are sekitar Rp 700 juta. Itu harga minimal. 

Saat ini, upah minimum regional tertinggi di Bali ada di Kabupaten Badung dengan nilai Rp 1,9 juta. Upah minimum di Bali rata-rata Rp 1,6 juta. Baiklah. Anggap saja pendapatan maksimal di Bali sampai Rp 5 juta per bulan, maka perlu waktu 140 bulan atau sekitar 11 tahun untuk bisa membangun rumah di lahan 1 are.

Itu pun jika harga tanah tidak terus menanjak naik. Itu pun jika semua hasil per bulan ditabung.

Sederhananya, harga tanah di Bali memang kian tinggi dan susah terbeli bagi warganya sendiri. Toh, ironisnya, penjualan tanah di Bali tetap laris manis saja. Pembeli dari luar pulau yang justru datang bertubi-tubi.

Alih fungsi

Upacara di Bali banyak menggunakan bahan dari lahan pertanian. Namun tanah pertanian di Bali makin sempit, karena beralih fungsi menjadi Hotel dan Kafe. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Kian larisnya tanah di Bali tersebut seiring sejalan dengan kian banyaknya alih fungsi lahan, terutama lahan pertanian. Menurut data Badan Lingkungan Hidup Bali, pada 2009 luas lahan pertanian di Bali 350.713 ha atau sekitar 62 persen dari luas Provinsi Bali. Dua tahun kemudian lahan pertanian turun jadi 61,35 persen atau 345.807 ha. Pada 2012 turun lagi hanya tinggal 207.047 ha atau 36,73 persen dari luas luas Provinsi Bali. 

Lahan-lahan pertanian di Bali yang semula adalah sawah, lengkap dengan sistem subak dan segala perangkat budayanya, kini berganti dengan pusat-pusat bisnis, fasilitas pariwisata, perumahan, hingga kafe remang-remang. Pertanian yang menjadi dasar budaya Hindu Bali berganti dengan pariwisata. Dari masyarakat agraris, Bali berubah menuju masyarakat kapitalis.

Seiring dengan terjadinya alih fungsi lahan pertanian tersebut, berubah pula kebudayaan orang Bali. Bagi orang Hindu Bali, tanah bukanlah semata tempat produksi. Di sana mereka juga membangun agama dan kebudayaan yang bertahan selama ribuan tahun. 

Dalam catatan budayawan muda Bali, Sugi Lanus, tanah adalah tempat natah tempat di mana orang Hindu Bali membangun sanggah dan tugu, tempat umat Hindu Bali menghaturkan sesaji kepada Sang Hyang Widhi maupun para leluhur. Karena itu, menurut Sugi, persoalan tanah di Bali adalah juga persoalan Tuhan.

Nyatanya, bagi warga Bali sendiri, tanah tempat menghaturkan bakti tersebut kian tak terbeli.

Bukan surga ekonomi

Melihat kondisi kian beralihnya kepemilikan tanah dan alih fungsi lahan di Bali, saya jadi ingat buku Sisi Gelap Pulau Dewata karya Geogfrey Robinson. Dalam buku tersebut, Robinson sudah menceritakan bagaimana peliknya urusan tanah bagi orang Bali sejak zaman Kolonial, tepatnya 1920-an.

Ketika itu, pajak tanah merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintah kolonial di Bali. Pajak tanah di Bali bahkan lebih mahal 1,5 hingga 2 kali dibandingkan daerah lain di luar Jawa dan Madura. Bahkan, untuk daerah tertentu, harga tanah dan pajaknya pun lebih mahal dibandingkan di Jawa sekalipun.

Pada 1927, pajak tanah dari warga Bali mencapai dua pertiga dari seluruh pendapatan pajak tanah pemerintahan kolonial di luar Jawa dan Madura. “Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa tanah bukanlah surga ekonomi bagi orang Bali melainkan menjadi sumber pajak bagi pemerintah,” tulis Robinson.

Karena mahalnya pajak, maka petani pemilik terpaksa menjualnya. Tanah pun berpindah kepemilikan ke segelintir orang-orang kaya dan ningrat. Banyak warga Bali menjadi tuna-tanah.

Hampir seratus tahun kemudian, kejadian sama berulang. Tanah di Bali makin mahal dan tak terbeli. Bedanya, kepemilikan tanah makin berpusat pada sekelompok pemodal. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!