Philippine arts

Derita Berlin: Korban tsunami Aceh yang minta disuntik mati

Adi Warsidi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Derita Berlin: Korban tsunami Aceh yang minta disuntik mati
Sejak tsunami mengobrak-abrik rumahnya, hingga kini Berlin dan keluarga tinggal di pengungsian

 

BANDA ACEH, Indonesia — Berlin Silalahi (46 tahun) hanya bisa berbaring di dapur kantor Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Ia ditemani istrinya Ratna dan anak bungsunya Fitria yang masih kanak-kanak.

“Beginilah kondisi saya, sulit menggerakkan kaki. Medisnya, peradangan tulang,” kata Berlin kepada Rappler yang menjumpainya pada Rabu, 17 April 2017.

Berlin mengatakan dirinya sudah hampir tiga tahun lumpuh. Korban tsunami Aceh 26 Desember 2004 itu tercatat sebagai warga Desa Merduati, Banda Aceh. 

Saat tsunami menerjang, istrinya sedang hamil anak pertama. Rumah yang mereka sewa luluh-lantak. Namun Berlin dan istrinya selamat. Mereka kemudian tinggal di pengungsian.

Mereka sempat berpindah-pindah barak sebelum akhirnya tinggal di Barak Bakoy, Aceh Besar, bersama belasan kepala keluarga lainnya yang belum kebagian rumah. 

Namun, pada akhir April 2017, barak tersebut digusur Pemerintah Aceh Besar. Berlin dan pengungsi lain sempat dijanjikan bantuan rumah. Namun bantuan tersebut tak kunjung datang.

Berlin yang sedang sakit-sakitan pun semakin tak berdaya. ”Saya tak tahan lagi, sakit dan tak ada tempat bernaung,” rintih Berlin.

Di puncak keputusasannya, Berlin kemudian mengajukan suntik mati  (euthanasia) ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. “Saya mengajukan suntik mati ke pengadilan,” katanya.

Sakit pada kaki Berlin berawal tiga tahun lalu secara tiba-tiba. Saat itu ia sempat menderita asma dan asam urat. Berlin lalu berobat ke Lhokseumawe. Saat itu, biaya pengobatan ditanggung adiknya.

Ketika dalam pengobatan itulah Berlin mendadak tak bisa menggerakkan kakinya. Ia kemudian kembali berobat ke salah satu rumah sakit di Lhokseumawe. Di sana, dokter memvonisnya peradangan tulang. ”Kemudian saya tak punya biaya lagi,” ujarnya.

Berlin lalu dibawa kembali ke Banda Aceh untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit Meuraxa. Di sini, sakitnya justru bertambah parah. Keluarganya kemudian mencarikan pengobatan alternatif dengan ramuan tradisional yang diminum. 

Ada sedikit perkembangan, kakinya sudah mulai bisa digerakkan, tapi masih terlau lemah untuk berjalan. ”Duduk juga tak bisa tahan lama,” kata Berlin.

Merasa tak berguna lagi, Berlin secara mengejutkan kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara mengajukan suntik mati ke pengadilan. Untuk itu ia meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum YARA.

Namun, pada saat bersamaan, Berlin masih tetap menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh. ”Sebulan, dua kali mengambil obat,” kata istrinya.

Menurut Ratna, dia tak rela dengan keputusan suaminya yang meminta disuntik mati. Tapi ibu dua anak itu juga tak kuasa melarang keputusan suaminya. 

Padahal sebelum sakit, Berlin bekerja sebagai tukang bengkel dan dapat menafkahi keluarga. Sementara Ratna hanya ibu rumah tangga biasa.

Untuk hidup sehari-hari, Berlin dan keluarga bergantung pada belas kasihan tetangga. Anaknya yang sulung, Tasya, dititipkan kepada keluarganya. 

Puspa Dewi, tetangga Berlin di barak, mengakui prihatin dengan kondisi yang dialami keluarga Berlin. “Saya sering melihat mereka tak makan, karena tidak ada apa-apa,” katanya.

Berlin bersama korban tsunami yang belum mendapatkan rumah pengganti, Rabu (17/5). Foto oleh Adi Warsidi/Rappler Menurut Puspa, para korban tsunami sebanyak 18 Kepala Keluarga (KK) yang tergusur dari barak kini ditampung di kantor YARA. Bagian dapur kantor disulap jadi tempat menginap. Sebagian menggelar tenda di garasi kantor yang terletak di Jalan Pelangi, Kampung Keramat, Banda Aceh.

Di sana ada 6 KK yang menumpang, sebagian yang tergusur lainnya memilih menumpang di tempat kerabatnya. Sambil menunggu keadilan.

Para korban juga telah melapor ke Komnas HAM terkait penggusuran tersebut. Komnas HAM juga telah mengirimkan surat kepada Pemerintah Aceh Besar untuk menindaklanjuti pengaduan korban penggusuran barak pada 15 Mei 2017.

Dalam surat yang ditandatangani Kepala Komnas HAM Kantor Perwakilan Aceh, Sepriady Utama, mereka meminta agar para korban tsunami segera dipenuhi haknya. 

Rekomendasi disampaikan mengingat pasa; 71 dan 72 UU Nomor 39 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa pemerintah wajib dan bertanggungjawab dalam melindungi, menegakkan dan memajukan HAM warga negara.

Sidang euthanasia mulai digelar

Sidang perdana euthanasia digelar di Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 15 Mei 2017. Saat itu Berlin tak bisa hadir karena kondisinya tak memungkinkan. 

Sidang dipimpin hakim tunggal, Ngatemin, hanya untuk mendengar keterangan saksi.

Dua saksi yang dihadirkan adalah tetangga korban Puspa Dewi dan Habibah. 

”Saya hanya diminta hakim bercerita tentang kondisi Pak Berlin, saya ceritakan semuanya,” kata Puspa kepada Rappler. Turut hadir kuasa hukum dari YARA, Ketuanya Safaruddin dan Sekretaris, Fakhrurrazi.

Menurut Fakhurrazi, agenda sidang hanya pemeriksaan awal dengan pembacaan permohonan Berlin yang minta disuntik mati karena kondisinya. ”Hakim mendalami maksud dan tujuan euthanasia itu,” katanya.

Sementara sidang kedua yang digelar Kamis siang, 18 Mei 2017. Agendanya mendengar saksi ahli terkait rekam medis terhadap penyakit yang dialaminya. Saksi yang dihadirkan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Euthanasia atau suntik mati tak diatur dalam hukum positif Indonesia. Tetapi, kata Fakhrurrazi, tak boleh ada kekosongan hukum ketika ada warga negara yang memohon kepada pengadilan. 

”Sama halnya ketika mereka meminta kami sebagai lembaga bantuan hukum untuk mendampingi, kami wajib membantu.”

Soal bagaimana nanti keputusannya, Fakhurrazi mengatakan kemungkinan  hakim akan mencarikan celah hukum yang terbaik untuk Berlin. Supaya keadilan untuk korban terpenuhi.

Selain mendampingi kasus Berlin, YARA yang menampung para korban penggusuran Barak Bakoy di kantornya, juga sedang berusaha mencari keadilan buat mereka. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!