Perlombaan 17 Agustus, sudahkah saatnya kita lupakan?

Rosa Cindy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perlombaan 17 Agustus, sudahkah saatnya kita lupakan?

ANTARA FOTO

Sejarawan Asep Kambali mengatakan, perlombaan memang mengandung nilai historis, tapi tidak ada pelajaran yang didapat darinya, khususnya bagi generasi muda

JAKARTA, Indonesia — Memasuki bulan Agustus, semarak perayaan kemerdekaan Republik Indonesia nampak sangat jelas. Dimulai dari bendera yang berkibar di tiang-tiang tinggi, hingga segala jenis aksesoris pemanis dengan paduan merah-putih.

Untuk semakin meramaikan, sejumlah perlombaan yang telah identik dengan perayaan kemerdekaan negeri ini pun dilaksanakan di mana-mana, mulai dari kampung-kampung hingga institusi-institusi.

Menjelang 17 Agustus, warga Villa Melati Mas, Tangerang, misalnya mengadakan sejumlah kegiatan untuk menyemarakkan perayaan kemerdekaan. Perlombaan dimulai pukul 07:00 WIB dengan acara lari pagi bersama.

Setelahnya, warga berkumpul di lapangan kompleks, di mana perlombaan digelar. Ada lima lomba yang diadakan, yaitu lomba makan kerupuk, estafet karet pakai sedotan, cari koin dalam tepung, balap karung, dan isi ember dengan sponge basah untuk anak-anak.

“Nilai kebijaksanaan perlombaan baik sekali. Panjat pinangnya masih bertahan, tetapi kian hari kian terasa, dan kita tidak bisa bohong, gotong royong dan kebersamaan menipis.”

—JJ Rizal

Tingkah lucu bocah-bocah tersebut tak ayal mengundang gelak tawa. Keceriaan terus mengalir hingga akhir acara, sekitar pukul 12 siang, saat para pemenang mendapatkan hadiahnya. Menyesuaikan dengan pemainnya, hadiah yang diberikan juga sesuai dengan kesukaan anak-anak, seperti makanan ringan dan minuman manis.

“Acaranya menyenangkan sih. Ini jadi momen mengeratkan hubungan,” kata seorang warga, Audrey Halim. “Kita enggak melihat perbedaan. Ingat kalau kemerdekaan RI bisa diraih karena semua unsur masyarakat bersatu melawan penjajah.”

Rangkaian acara ini sendiri merupakan pre-event dari perlombaan puncak yang akan digelar tepat pada Hari-H, 17 Agustus.

Bagian dari diri bangsa Indonesia

Lomba memang begitu dinikmati masyarakat Indonesia. Hal ini tidak mengherankan. Sebab menurut sejarawan JJ Rizal, jika menilik pada sejarah, perlombaan sudah familiar bagi masyarakat Indonesia sejak abad 16 sebagai bentuk kemurahan hati raja.

 

Saat kerajaan-kerajaan ditaklukan pemerintah kolonial Belanda, perlombaan juga diadakan sebagai bentuk perayaan. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, perlombaan juga digunakan untuk membakar semangat.

Panjat pinang misalnya, telah ditemukan ada di Indonesia sejak awal abad 20, pada masa penjajahan Belanda. Atau, balap karung yang terdokumentasikan pada masa penjajahan Jepang, menjadi bukti keberadaan lomba-lomba tersebut sejak lama.

“Jadi kita punya sejarah panjang sebagai masyarakat [yang] senang perlombaan,” katanya kepada Rappler.

Di balik riuh tawa yang dihasilkan lomba-lomba tersebut, ada pelajaran yang bisa dipetik. Seperti balap karung yang mengingatkan masyarakat pada sulitnya masa penjajahan kolonial, hingga kebutuhan sandang saja tak mampu dipenuhi. Alhasil, karung goni digunakan sebagai penggantinya. Kini, seburuk apapun kondisinya, kita tak perlu lagi menggunakan karung sebagai pakaian.

Lainnya, lomba panjat pinang lekat dengan nilai gotong royong. Hal ini tampak jelas pada setiap orang yang saling membantu untuk bisa mencapai puncak dan mendapat hadiah. Selain itu, sulitnya mencapai puncak juga menunjukkan bahwa perlu ada upaya untuk mendapatkan apa yang kita harapkan, atau mungkin sekadar apresiasi.

Bagi pendiri penerbitan Komunitas Bambu ini, perlombaan ini penting dilestarikan karena terkandung banyak pelajaran, seperti kedisiplinan, sportivitas, dan kerja keras. Selain itu, ada kenangan mengenai perjalanan panjang bangsa ini. 

Meski demikian, masih ada aspek yang lebih penting daripada sekadar melestarikan perlombaannya, yaitu melestarikan nilai-nilai positifnya, serta tidak melupakan sejarah bangsa Indonesia.

Dalam konteks ini, Rizal menggunakan perlombaan panjat pinang sebagai contohnya. 

“Nilai kebijaksanaannya baik sekali. Panjat pinangnya masih bertahan, tetapi kian hari kian terasa, dan kita tidak bisa bohong, gotong royong dan kebersamaan menipis,” ucapnya.

Pelajaran sejarah yang tak bermakna?

Namun sejarawan Indonesia lainnya, Asep Kambali, berbeda pendapat. Baginya, perlombaan semacam panjat pinang, balap karung, dan makan kerupuk sudah selayaknya tidak lagi dilakukan untuk merayakan hari kemerdekaan.

“Saya tidak bilang ini salah, tapi permainan tersebut tidak mendekatkan kita dengan sejarah-sejarah bangsa kita,” kata pendiri Komunitas Historia Indonesia itu.

Asep menyebutkan, perlombaan-perlombaan ini memang sudah ada sejak lama. Panjat pinang, disebutkannya, sudah ada sejak zaman Dinasti Qing dan Ming di Tiongkok. Jadi, ia menyetujui bagaimana masyarakat Indonesia sudah familiar dengan permainan tersebut. Ia pun mengafirmasi adanya nilai penting dalam panjat pinang, seperti gotong royong dan perjuangan. Namun, tidak ada pelajaran sejarah di dalam perlombaan tersebut.

“Karena kita sudah merdeka. Mestinya kita buat program yang lebih mendidik, lebih bermartabat, yang lebih menjadikan anak-anak kenal dengan sejarah.”

—Asep Kambali

Perlombaan lainnya juga dinilai Asep tidak mengandung pelajaran sejarah. Ia menyebut balap karung menjadi simbol tanam paksa, dan makan kerupuk menggambarkan kemelaratan bangsa Indonesia di masa lampau. 

Simbol-simbol tersebut dianggap tidak pantas lagi dilakukan di negara ini.

“Karena kita sudah merdeka. Mestinya kita buat program yang lebih mendidik, lebih bermartabat, yang lebih menjadikan anak-anak kenal dengan sejarah,” tuturnya.

Indonesia memang pernah dijajah, dan Asep mengiyakan hal tersebut sebagai fakta. Tapi, menurutnya, perlu ada pengenalan lebih jauh mengenai sejarah Indonesia, yang lebih dari sekadar informasi bahwa Indonesia pernah dijajah.

Di sinilah Asep mengungkapkan keprihatinannya pada generasi muda Indonesia yang tidak semakin kenal dengan sejarah dan pahlawan bangsanya. 

“Coba, siapa pahlawan dalam uang Rp10 ribu lama dan baru? HR Rasuna Said itu cewek atau cowok? Tanya deh, orang Indonesia tahu enggak arti kata Indonesia? Siapa yang kasih nama Indonesia? Kan enggak ada dalam panjat pinang belajar itu,” katanya.

Ia menuturkan, permainan-permainan ini memang sudah ada secara historis, tapi kemudian seolah-olah wajib dilakukan untuk merayakan kemerdekaan. Padahal, permainan sebenarnya bebas untuk dimodifikasi.

Rayakan kemerdekaan dengan gaya baru

Seorang anak ketika mengikuti lomba balap karung di Surabaya, Jawa Timur, pada 11 Agustus 2017. Foto oleh Zabur Karuru/Antara

Asep tak lantas mengkritik tanpa solusi. Bersama Komunitas Historia Indonesia yang didirikannya, Asep membuat modifikasi perlombaan untuk merayakan kemerdekaan. Perlombaan ini diyakininya lebih memberikan pelajaran sejarah bagi pesertanya.

“Nah kami Komunitas Historia Indonesia menawarkan alternatif-alternatif program, misalnya dengan lomba mirip pahlawan, lomba lagu-lagu perjuangan, lomba baca teks proklamasi, lomba baca teks pancasila, lomba puzzle sejarah, lomba tebak-tebakan sejarah, amazing race sejarah,” kata Asep. 

“Saya kira banyak sekali program yang bisa kita bikin supaya anak-anak muda kita makin melekat dengan republik ini, dan mereka menjadi belajar sejarah.” 

Secara historis, panjat pinang pada masa kolonialisme memang hanya mampu dibuat orang Belanda, yang terhitung kaya pada masa itu. Pesertanya adalah orang Indonesia yang miskin. Permainan ini diadakan sebagai sarana hiburan bagi orang-orang Belanda.

Karenanya, Asep membantah jika permainan yang dibuatnya tidak menghibur.

“Lomba lagu-lagu perjuangan, lomba baca teks proklamasi, kan kalau pada enggak bisa ketawa-ketawa juga kita. Ngetawain anak-anak, ya, kan? Bapak-bapak disuruh baca teks Pancasila, enggak hafal, diketawain kan, karena lucu. Ada lucunya juga, menghibur,” ujarnya. 

“Jadi enggak mesti yang benar itu kaku dan enggak lucu. Yang benar juga bisa lucu. Lomba mirip pahlawan kan bisa. Belom tentu dia mirip, ya kan? Dan itu menjadi lucu.”

Bagi Asep dan KHI, perayaan kemerdekaan juga menjadi momen yang tepat untuk retrospeksi dan belajar tentang masa lalu. Selain perlombaan, ia juga membuat kegiatan yang disebutnya Napak Tilas Proklamasi.

Tahun ini, Napak Tilas Proklamasi dilaksanakan pada 16 Agustus, dimulai dari Museum Joang ’45 di Menteng, Jakarta Pusat, pada pukul 12:00 WIB. Peserta akan diajak berjalan kaki melewati beberapa tempat-tempat bersejarah di Jakarta, seperti Rumah Bung Hatta, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Tugu Proklamasi, dan lainnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!